Laga Ligo LogiKisah-kisah dalam naskah La Galigo memang hebat, bahkan merupakan naskah epik terpanjang di dunia, bayangkan saja naskah I Laga Ligo lebih panjang dari Naskah Mahabrata di India, namun sangat disayangkan nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer, entah mengapa seakan-akan generasi pewaris i Laga Ligo ini mengabaikan situs sejarah yang tiada tara ini.  bahkan setiap episodenya terserak ke mana-mana tanpa karuan.  Dahulu kala setiap bangsawan tanah Luwu ataupun bangsawan Bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri secara turun temurun dalam keluarganya. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode naskah tersebut, diperlukan kerja keras, serta waktu yang tidak sedikit. Sungguh bukan pekerjaan yang semudah membalikkan telapak tangan.
Salah seorang Bangsawan Tanah Luwu, sebut saja Colliq Pujie, bangsawan yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah tersebut dari kepunahan. Beliau mengumpulkan cerita yang ada dalam naskah I Laga Ligo dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.
Tapi sungguh ironis, meski naskah ini asli milik Indonesia (khususnya Tanah Luwu), namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu. Naskah yang berada di Leiden Belanda ini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.

Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi Selatan (khususnya Tanah Luwu). Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang.

sebagian besar bersumber dari klik di sini